Kisah Berdirinya Kerajaan Mojopait
Pada zaman
kerajaan Mojopait berkuasa dengan megahnya memancarkan keagungan dan luasnya
kekuasaannya membuat kerajaan-kerajaan lain dimuka bumi segan dan memuliakannya
sebagai kerajaan yang dipertuan agung kerajaan lain di dunia.
Pada saat
itu Mahapatih Gajahmada memasuki Tlatah Madakaripura setelah menanggalkan baju
kebesarannya beserta seluruh kekuasaannya sebagai seorang Mahapatih I Hino di
Mojopait, memakai baju laksana seorang resi. Beliau berjalan kaki menuju
pesanggrahannya, dengan segala kepenatan yang ada dalam benaknya setelah
beberapa peristiwa besar yang dialaminya. Dalam keremangan malam beliau
melangkah menyusuri jalan yang naik turun, terdengar suara jengkerik dan
lolongan srigala di kanan dan kiri jalan yang seolah melengkapi kepenatan sang
mantan mahapatih tertinggi di Nuswantara...
Tak lama
kemudian terlihat sebuah pelita dikejauhan," Hm apa itu didepan sana ada
pelita dinyalakan ditengah malam begini." gumam beliau sambil bergegas
melangkah menuju sumber pelita itu.
Ternyata
ada seorang bocah kecil yang menggigil kedinginan berada dekat pelita atau
disebut Damar, entah siapa bocah lelaki ini...
Tak lama
kemudian muncullah lelaki setengah baya memakai baju seorang resi yang
berwibawa dan terlihat kokoh tubuhnya...melangkah mendekati bocah kecil yang
kedinginan itu.
"
Siapa kamu ngger? Kenapa kamu sendirian ditempati seperti?" tanya lelaki
itu yang tentu saja mengagetkan bocah kecil itu yang semakin ketakutan. "
Sssayaa eeh." dengan gemetar dan ketakutan bocah.
"
Jangan takut ngger, aku Resi Tunggul Manik jangan takut." kata lelaki
setengah yang ternyata Gajahmada yang tlah berganti nama menjadi Resi Tunggul
Manik. Resi Tunggul Manik memeluk bocah kecil tersebut," Maukah engkau
ikut aku ngger? Aku sendirian di pesanggrahan Madakaripura..."
Lalu bocah
itu memandang wajah Resi Tunggul Manik yang amat berwibawa," Inggih Bapa
resi, saya mau ikut Bapa ke pesanggrahan."
Sang Resi
tersenyum mendengar jawaban bocah itu, lalu setelah mematikan pelita (Damar)
tersebut mereka melangkah menembus kegelapan malam menuju pesanggrahan
Madakaripura. Pesanggrahan Madakaripura sebenarnya lebih mirip kompleks kedaton
karena begitu luasnya dan bangunan-bangunannya tak ubahnya bangunan-bangunan
dalam sebuah kedaton. Tak berapa lama kemudian sampailah Resi Tunggul Manik di gapura
utama, bocah kecil itu terbengong-bengong kagum melihat kemegahannya,
" Duh Bapa
resi megah sekali gapura bentarnya sebesar bukit... Ini bukanlah gapura
pesanggrahan Bapa tapi gapura sebuah kedaton." kata bocah itu, Resi
Tunggul Manik tersenyum mendengarnya.
Setelah
melewati sebuah alun-alun akhirnya mereka sampai disebuah bangunan yang lebih
mirip Sitihinggil, lalu menuju sebelah kanan bangunan tersebut namun ada yang
aneh karena dalam kompleks yang pantas disebut sebuah kedaton itu hanya mereka
berdua.
Akhirnya
Resi Tunggul Manik sampai disebuah rumah besar dan mengajak bocah itu masuk ke
dalam,
"
Siapa namamu ngger? Bocah itu hendak menjawab namun sang resi berkata
lagi," Sudahlah ngger namamu sekarang Damar karena pertama aku melihatmu
sedang menyalakan Damar (pelita) untuk menghangatkan badan ditambah wulan
karena tepat malam purnama."
Akhirnya
Damarwulan diantarkan Resi Tunggul Manik kedalam sebuah kamar yang cukup besar,
Damarwulan duduk dipembaringan memandang sekeliling dan berkata kepada
resi," Terimakasih Bapa resi karena Bapa mengajak saya tinggal ditempat
yang sangat indah ini, tapi kenapa tempat seluas ini kosong tiada seorangpun
kecuali kita ...."
Resi
Tunggul Manik menghampiri Damarwulan dan memegang dagu bocah itu dan
menjawab," Tidurlah ngger ...istirahatlah, anggaplah pesanggrahan ini
sebagai rumah juga anggaplah aku seperti Bapamu sendiri.." sambil mengelus
kening Damarwulan yang terdiam membisu mendengar kata-kata beliau, lalu
meninggalkan Damarwulan di kamar itu, sementara Damarwulan termangu sendiri
sampai akhirnya tertidur.
Hari
berganti hari bulan berganti bulan tak terasa Damarwulan hampir satu tahun
tinggal bersama Resi Tunggul Manik. Banyak hal yang diajarkan sang resi kepada
Damarwulan, ilmu keprajuritan, olah kanuragan, dan banyak lagi. Damarwulan
dengan tekun mempelajari semua yang diajarkan ayah angkatnya, sang Resi sangat
kagum dengan keuletan dan ketabahan Damarwulan dalam menerima gemblengan darinya.
Namun Damarwulan masih juga heran kenapa mereka hanya berdua ditempat itu juga
perihal siapa sesungguhnya Resi Tunggul Manik ayah angkatnya itu, namun
Damarwulan belum berani menanyakan lagi pada sang resi yang sangat disayanginya
itu.
Dalam
sanggar pamujannya Resi Tunggul Manik sedang bertapa mengheningkan diri,
melarutkan jiwa dalam samudra tapa yang tiada batas.....
Dalam
tapanya Resi Tunggul Manik mendapatkan petunjuk kalau anak angkatnya yaitu
Damarwulan kelak akan menjadi mahaprabu di Mojopait, Resi Tunggul Manik sadar
kalau dia harus lebih keras dan tekun menggembleng anak angkatnya dengan
berbagai macam ilmu dan pengetahuan ketatanegaraan.
" Aku
yakin pada saatnya nanti Damarwulan akan mampu menyatukan kembali Mojopait yang
terpecah setelah perang Bubat dulu...duh angger Damarwulan." begitu kata
hati Resi Tunggul Manik setelah bangun dari tapanya, lalu tak lama kemudian
beliau menuju kamar Damarwulan yang masih satu rumah dari sanggar pamujannya. Rupanya
Damarwulan tidak tidur, dia tampak lagi duduk ditepi pembaringan.
" Duh Bapa, ada apa malam malam begitu Bapa menemui
saya?" Resi Tunggul Manik duduk disebelahnya," Ketahuilah ngger Bapa
hendak menceritakan kepadamu tentang suatu hal penting." Damarwulan
memandang wajah ayah angkatnya dengan penuh tanya ,"Ada apakah Bapa?"
Lalu Resi Tunggul Manik menceritakan kisah peralihan dari
kerajaan Singosari sampai ke awal berdirinya kerajaan Mojopait. Seolah terbang
kembali ke masa lalu.....
Dikisahkan kerajaan Singosari memang didirikan Ken Arok
dibekas kadipaten Tumapel setelah menikahi Ken Dedes, ken arok merupakan
titisan Ditya Kalagitya mahapatihnya khayangan..........
Selanjutnya pada masa pemerintah Mahaprabu Kertanagara
beliau mempunyai putra bernama Kertajaya, seterusnya tahta Singosari diteruskan
Mahaprabu Kertajaya. Pada masa inilah Joko Kantiwong seorang putra dari Cina
(bangsa Han) diangkat menjadi putra angkat Mahaprabu Kertajaya, beberapa masa
kemudian Joko Kantiwong diberi kekuasaan menjadi adipati didaerah Ndandangan.
pada awal awal pemerintahan Prabu Jayakatwang atau Prabu Ndandang Gendis
berjalan amat baik dan makmur, beliau amat memuliakan ayah angkatnya Mahaprabu
Kertajaya di Singosari namun itu hanya berlangsung 6 bulan saja.
Pada hari itu seluruh pembesar kraton Singosari hadir
pada pisowanan agung di paseban agung kraton Singosari, para temenggung,
adipati, patih dalam maupun Patih Njobo, Mahapatih I Hino, Mahapatih I Halu
menempati posisi masing-masing sesuai pangkatnya.
Tak lama kemudian Mahaprabu Kertanaga hadir, seluruh yang
hadir memberikan penghormatan pada beliau, kemudian duduk di singgasananya yang
indah bertahtakan intan berlian dan emas.
“ Para pembesar kratonku hari ini sengaja aku kumpulkan
andhika semua disini untuk menerima utusan dari Kitai Nagari yang hendak
membacakan surat dari Kubhilai Khan untukku, apa mereka sudah hadir disini
kakang mahapatih?“ Lalu Resi Tunggul Manik meneruskan kisahnya lagi ....
Empu raganatha selaku Mahapatih I Hino menjawab sabda sang
Mahaprabu,
" Sendiko dhawuh gusti, mereka utusan dari Kitai
Nagari siap masuk ke paseban agung puri dalem keprabon."
Selanjutnya para punggawa membawa utusan dari Mongolia
menghadap Mahaprabu Kertanagara, mereka berjumlah 4 orang, salah seorang diantaranya
maju kedepan menghaturkan penghormatan pada Mahaprabu,
" Terimalah penghormatan hamba tuan, nama hamba Meng
Ki, diutus paduka yang mulia kaisar Kubhilai Khan untuk menyampai salam dan
pesan untuk tuan Mahaprabu Kertanagara..."
Lalu Meng Ki ketua utusan itu hendak menyampaikan pesan
itu namun Mahaprabu Kertanagara bersabda," Tunggu hey utusan, aku terima
salam rajamu, sekarang bacakan pesan dari rajamu dihadapanku!"
" Kepada
Mahaprabu Kertanagara Raja Singosari yang bijaksana, negerimu subur makmur dan
indah namun akan tetap subur makmur lagi jika engkau sujud dibawah kekuasaanku
Maharaja Agung penguasa dunia yang mulia kaisar Kubhilai Khan yang agung, aku
akan lindungi negerimu dan makmurkan negerimu, tetapi engkau menolak maka
negerimu akan kuhancurkan, balatentaraku akan meluluh lantakan negerimu
.."
Betapa murkanya Mahaprabu Kertanagara mendengar pesan
yang dibacakan itu, secepat kilat beliau bangkit mencabut keris salah seorang
punggawa yang ada didekatnya lalu mengarahkan keris itu ke wajah Meng Ki, semua
yang hadir dipaseban itu terpaku menyaksikan peristiwa itu, termasuk ketua
utusan Mongolia itu terpaku. Tak lama kemudian sang Mahaprabu berteriak keris
sambil menghunus keris,
" Hey
Meng Ki sampaikan pada rajamu ini jawabanku!!" sambil melempar sesuatu
yang penuh darah dihadapan Meng Ki.
"
Aduuuh perih !!" tiba tiba Meng Ki merasakan perih dan panas diwajah dan
telinganya, lalu dia meraba wajah dan telinga kanannya penuh darah!
Rupanya
wajah dan telinga kanannya terluka, bahkan daun telinga kanan terpotong tak dia
sadari,
"
Aduuuh telingaku aduuuh....kurang ajar kau Mahaprabu! Engkau akan membayar
penghinaan ini! Paduka kaisar Kubhilai Khan akan meratakan negerimu!"
teriak Meng Ki memegang telinganya yang terputus, seluruh yang hadir mencabut senjata
masing-masing termasuk 3 orang utusan teman Meng Ki.
" Hahaha katakan pada Kubhilai Khan, aku
Kertanagara akan membantai semua bala tentaranya tanpa sisa! Bahkan sekalian
rajamu itu!" sang Mahaprabu berkacak pinggang, lalu Mahapatih Raganatha
berbicara,
"Mohon
ampun gusti prabu, tindakan paduka akan memancing peperangan gusti, melukai
utusan itu suatu pelanggaran gusti.."
Suasana
masih tegang ,seluruh punggawa kedaton menghunus senjata mengepung keempat
utusan Mongolia itu," Gusti prabu sebaiknya biarkanlah keempat utusan
Kitai Nagari itu meninggalkan paseban agung ini.."
Mahapatih
Raganatha meminta Mahaprabu Kertanagara membiarkan keempat utusan itu pergi.
"
Tentu saja kakang mahapatih, mereka harus segera pulang kenegerinya untuk
menyampaikan pesanku! Heey kau Meng Ki! Katakan pada rajamu aku tak sudi tunduk
padanya! Negerimu terlalu kecil bagi kekuatan angkatan perangku!
Katakan pada rajamu!"
Memang sejak saat Mongolia menyerang Nuswantara berkali-kali
namun slalu gagal, selanjutnya Resi Tunggul Manik berkata pada
Damarwulan," Ngger Damarwulan, pihak Mongolia memang selalu gagal
menyerang Nuswantara namun mereka menggunakan siasat licik setelah mengetahui
putra Mahaprabu Kertanagara yaitu Mahaprabu Kertajaya penerus tahta Singosari
memiliki anak angkat dari Cina atau Han yaitu Joko Kantiwong atau
Jayakatwang."
Damarwulan dengan serius menyimak kisah yang diceritakan
ayah angkatnya, ketika mendengar Jayakatwang diangkat menjadi adipati
Ndandangan dengan gelar Prabu Dandang Gendis, Mongolia mengirim utusan untuk
menghasut prabu Ndandang Gendis supaya melawan ayah angkatnya yaitu Mahaprabu
Kertajaya. Maka berangkatlah rombongan Mongolia dengan menyamar sebagai utusan
perdagangan ke kadipaten Ndandangan, setelah memasuki Ujung Galuh kapal kapal
dari Mongolia menelusuri sungai Berantas hingga tiba di pelabuhan Canggu. Dari
pelabuhan ini kapal-kapal berwarna biru ini diizinkan melanjutkan perjalanan ke
Ndandangan, beberapa lama kemudian sampainya mereka di pelabuhan Ndandangan
yang kemudian terkenal dengan nama jong biru karena adanya beberapa kapal-kapal
Mongolia yang merapat berwarna biru.
Setelah beberapa hari merapat dan mengamati perkembangan
di kota Ndandangan dan kedaton, para intelijen Mongol berencana menemui Prabu
Dandang Gendis di tempat yang aman dari pengamatan prajurit Singosari.
sementara Mahapatih I Hino Singosari Prabu Banjaransari dari Karang Kamulyan
sejak semula kurang setuju dengan pengangkatan Joko Kantiwong menjadi adipati
di kadipaten Ndandangan selalu menempatkan prajurit telik sandinya di
Ndandangan untuk mengawasi Prabu Dandang Gendis.
Dua hari kemudian Prabu Dandang Gendis menerima surat
dari pedagang Mongolia di luar kraton ketika pulang dari berburu, selanjutnya
masuk ke puri dalem keprabonnya dan membuka surat yang berhuruf Han...lalu
membacanya.. tak lama setelah membaca surat itu raut mukanya berubah merah
padam..tubuhnya bergetar ...seperti menahan amarah yang luar biasa...
" Rupanya Eyang Kertanagara yang melukai dan
memotong telinga kakak Meng Ki ! Ini tidak bisa dibiarkan!" begitu seru
Prabu Dandang Gendis. Lalu dipanggilnya utusan Mongolia yang menyamar sebagai
utusan perdagangan dari Mongolia menghadap di puri dalem keprabon.
" Apa benar isi surat ini?"
Utusan itu menjawab," Benar tuan prabu, Meng Ki
adalah kakak kandung tuan, tuan harus membalas penghinaan ini."
Prabu Jayakatwang bimbang, dia gelisah dengan situasi
ini, utusan Mongolia tersenyum karena siasat dan hasutannya berhasil, dia terus
menghasut Adipati Ndandangan tersebut. Sampai akhirnya Prabu Jayakatwang benar-benar
terhasut dan berencana memberontak pada ayah angkatnya sendiri yaitu Mahaprabu
Kertajaya di Singosari. Tanpa disadari Prabu Jayakatwang, prajurit telik sandi
yang ditugaskan Mahapatih Banjaransari mengetahui rencana makar tersebut segera
melaporkan kepada sang Mahapatih di kepatihan. Setelah menerima laporan
prajurit telik sandi, Mahapatih Banjaransari memerintahkan bawahan untuk
menyiapkan pasukan untuk mengawal Mahaprabu Kertajaya meninggalkan kedaton
menuju kadipaten Karang Kamulyan, sementara beliau sendiri menghadap Mahaprabu
Kertajaya di puri dalem keprabon kedaton Singosari malam itu juga. dengan
tergopoh-gopoh Mahapatih Banjaransari menghadap raja terakhir Singosari,
"
Ketiwasan gusti prabu ketiwasan."
" Ada
apa ini mahapatih? Kenapa malam malam begini andhika menghadap tanpa
kupanggil?"
" Ini sangat darurat gusti prabu, mohon ampun gusti
sekarang juga, hamba mohon gusti ikut dengan hamba menuju Karang
Kamulyan."
" Tetapi ada apakah ini tolong jelaskan
padaku."
" Mohon ampun gusti prabu tak ada waktu lagi,
punggawa ! Bawa gusti
prabu ke tanggulangin ! Siapkan armada udara ! Kita pergi ke Karang Kamulyan
!" Mahaprabu terpaksa menuruti kehendak Mahapatih kepercayaannya tersebut
diiringi para punggawa menuju tanggulangin dan bersama armada udara menuju
kadipaten Karang Kamulyan!
Sementara
itu kadipaten Ndandangan mempersiapkan balatentaranya menyerbu kraton pusat
Singosari, tampak ratusan kapal dari Mongolia merapat dipelabuhan menggabungkan
diri dengan pasukan Ndandangan. Pada pagi hari seluruh pasukan gabungan tlah
mengepung kotaraja Singosari, perangpun tak dapat dihindarkan lagi. Namun
karena sebagian besar pasukan perang Singosari dibawa ke Karang Kamulyan
sehingga peperangan terjadi tidak seimbang, pasukan Singosari terdesak mundur ke
dalam kedaton dan bertahan sampai matahari terbenam.
Melalui
peralatan khusus Mahapatih Banjaransari memerintahkan sisa-sisa prajurit yang
ada untuk meninggalkan kedaton Singosari menuju tempat rahasia guna menyusun
strategi perlawanan kelak. Akhirnya kedaton pusat Singosari jatuh ke tangan
pasukan gabungan Ndandangan dan Mongolia, Prabu Dandang Gendis alias
Jayakatwang sangat puas dengan kekalahan Singosari terutama dendamnya pada
Mahaprabu Kertanagara yang merupakan eyang angkatnya yang telah melukai wajah
dan memotong telinga kanan Meng Ki utusan Mongolia yang dipercayanya sebagai
kakak kandungnya.
Damarwulan
tertegun mendengar penuturan Resi Tunggul Manik ketika sampai pada kisah
pemberontakan Jayakatwang kepada ayah angkatnya, hal ini membuat Resi Tunggul
Manik menghentikan kisahnya dan bertanya pada anak angkatnya itu.
" Ada apa ngger? Kenapa engkau tertegun mendengar
kisah Jayakatwang? Apa yang mengganggumu ngger ?"
" Nuwun sewu Bapa sebenarnya buat apa Bapa
menuturkan semua ini pada saya?"
Sang Resi menghela nafas panjang mendengar pertanyaan
Damarwulan, sejenak keduanya membisu tanpa membuat gerak maupun suara.
" Dengarkanlah ngger sejak bertemu denganmu, hatiku
yakin engkaulah orang yang tepat menjadi pemimpin besar di Nuswantara ini
..menyatukan kembali keutuhan Jawa yang terpecah sejak perang Bubat beberapa
tahun yang silam."
Damarwulan semakin tak mengerti dengan maksud perkataan Bapanya
itu," Saya bingung Bapa, apa hubungan saya dengan Nuswantara Bapa? Saya
hanya anak desa Bapa..."
" Semula Bapa tak yakin ngger ...Namun dalam
semadiku Sang Hyang Batara Indra memberi petunjuk bahwalah engkaulah ngger
Damarwulan yang kelak menjadi mahaprabu di Mojopait menggantikan ananda Hayam
Wuruk.."
Damarwulan semakin terperanjat mendengar kata kata Bapanya,
“ Menjadi mahaprabu di Mojopait?“
Sungguh hal yang tidak mungkin terjadi baginya yang hanya
seorang anak rakyat jelata ! Anak desa dari lereng Gunung Kampud akan menjadi
maharaja tertinggi di Nuswantara! Antara bingung dan tak percaya Damarwulan
mencoba menguasai diri. Setelah melihat anak kesayangannya telah tenang Resi
Tunggul Manik mencoba berbicara lagi," Damarwulan anakku dengarkanlah dan
rahasiakanlah apa yang Bapa katakan ini....tahukah Engkau ngger siapa
sebenarnya Bapa ini?"
Damarwulan menggelengkan kepalanya, " Bapa
sebenarnya bekas Mahapatih I Hino Gajahmada atau Maudara di kerajaan Mojopait,
sekaligus ayah kandung Mahaprabu Hayam Wuruk." betapa terkejutnya
Damarwulan mendengarnya betapa tidak ! Orang yang selama ini mengasuhnya,
mengasihinya seperti anaknya sendiri ternyata seorang yang sangat besar peran
dan pengaruhnya di Nuswantara! Mahapatih I Hino Gajahmada !!
Dengan tubuh gemetar dan keterkejutan yang luar biasa
Damarwulan menjadikan badannya, menyembah kaki sang Gajahmada yang berdiri dihadapannya,"
Mohon ampun gusti ....mohon ampun gusti ...ampunkanlah kebodohan hamba yang
tidak mengetahui siapa gusti yang sebenarnya...ampun.."
Resi Tunggul Manik segera menarik tangan Damarwulan untuk
berdiri," Ngger Damarwulan apa yang angger lakukan ..berdirilah ngger, bolehkah
Bapa tetap menjadi Bapamu?"
Damarwulan menggangguk dan memeluk Bapa angkatnya yang
sangat disayangi dan dihormatinya itu, demikian pula Resi Tunggul Manik
memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri, selama hidupnya Resi Tunggul Manik
belum pernah memeluk anak kandungnya sendiri, hari ini semua kerinduannya pada
Hayam Wuruk seakan telah terobati dengan memeluk Damarwulan.
Setelah puas memeluk Damarwulan, Resi Tunggul Manik
mengajaknya ke sanggar pamujan masih dalam areal rumah ksatriyan itu
selanjutnya melanjutkan kisahnya tentang pemberontakan Jayakatwang.
Memang keadaan Nuswantara saat itu dalam keadaan siaga
mengingat adanya ancaman dari kerajaan Mongolia yang sejak zaman pemerintahan
Mahaprabu Kertanagara di Singosari selalu menyerang Nuswantara dengan armada
lautnya berkali-kali namun setiap kali serangan bisa diatasi armada laut maupun
armada udara Singosari, pada kesempatan itu Damarwulan yang mulai beranjak
remaja memberanikan diri bertanya pada ayah angkatnya.
" Nuwun sewu Bapa sebenarnya kenapa kerajaan
Mongolia begitu bernafsu ingin menyerang dan menghancurkan Nuswantara Bapa?"
"
Angger Damarwulan kerajaan Mongolia sejak zaman pendirinya dahulu yaitu Jengis
Khan telah berambisi menaklukan Nuswantara, terbukti dengan serangan-serangan
yang dilancarkan putra-putranya ke Pasir Mesisir, Babilionia, Romawi dan
lain-lainnya yang dulu juga wilayah Nuswantara pada zaman-zaman kerajaan
sebelum Singosari, lalu saat kekuasaan dipegang Kubhilai Khan mereka mengirim
utusan kepada Mahaprabu Kertanagara."
" Apakah mereka mengirim utusan untuk meminta
kerajaan Singosari tunduk pada kekuasaan Mongolia Bapa?"
" Bener ngger, Meng Ki kepala utusan itu membacakan
tuntutan raja Mongol supaya Mahaprabu Kertanagara tunduk pada kekuasaan Mongolia,
tentu saja Mahaprabu Kertanagara murka."
Selanjutnya Resi Tunggul Manik menceritakan pergerakan
armada udara yang membawa Mahaprabu Kertajaya ke Karang Kamulyan, namun
mendadak terdengar khabar kalau adanya serangan dari Kian Santang ke Panjalu,
hal ini membuat Mahapatih Banjaransari memutuskan untuk menuju Magadha tempat
anak tertuanya berada yaitu Adipati Siung Wanara. Armadapun mendarat di
Magadha, di sana Mahaprabu Kertajaya meminta Mahapatihnya Banjaransari menjadi
Mahaprabu sampai tiba petunjuk siapa yang pantas menjadi Mahaprabu berikutnya
yang mampu mengembalikan kejayaan Nuswantara.
Dalam keadaan genting Mahaprabu Banjaransari
memerintahkan Prabu Siung Wanara mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul
balik Kian Santang, sebelummya Prabu Cakradewa adik kandung Prabu Siung Wanara
mengungsikan keluarga dan seluruh rakyatnya dari Panjalu menuju Karang Kamulyan
melalui terowongan bawah tanah. Ketika Kian Santang sampai di Panjalu mendapati
perlawanan dari prajurit Panjalu namun perlawanannya tidak sepenuhnya karena
memang itu suatu taktik supaya Kian Santang dan pasukan mudah menguasai
kadipaten Panjalu dan mengira Prabu Cakradewa Tilem beserta seluruh rakyatnya
dan siasat ini berhasil.
Setelah penyerangannya berhasil Kian Santang kembali ke Limbangan
dan mulai mendirikan Pajajaran, sementara itu Prabu Siung Wanara mulai memasuki
Limbangan dengan seluruh kekuatan pasukannya, tak berapa lama kemudian pasukan
itu memasuki markas pasukan Kian Santang dan terjadilah peperangan yang
dahsyat. Prabu Siung Wanara berhadapan dengan Kian Santang, terjadi pertarungan
yang dahsyat!
Saling adu senjata, ajian yang seru, namun secara pasti
Kian Santang terdesak juga pasukannya, tak sampai tengah hari Prabu Siung
Wanara menghabisi Kian Santang dengan keris Kyai Plered, melihat pemimpinnya
gugur seluruh pasukan menyerah.
" Selanjutnya Mahaprabu Banjaransari memanggil kedua
putranya Prabu Siung Wanara dan Prabu Cakradewa ke Karang Kamulyan untuk
menyusun rencana merebut kembali Singosari dari Jayakatwang, Maharesi Kertajaya
turut dalam pertemuan itu ngger." kata Resi Tunggul Manik melanjutkan
pembicaraan, Selanjutnya Resi Tunggul Manik membawa Damarwulan seolah olah
kembali ke masa kerajaan Singosari pada pemerintahan Mahaprabu Kertajaya.
“ Dalam pertemuan di Puri Dalem Keprabon Karang Kamulyan
tak bisa menemukan cara menundukan Jayakatwang, semua kecewa baik kedua putra
Mahaprabu Banjaransari, terutama Maharesi Kertajaya yang menyesali kelakuan
Jayakatwang putra angkat yang sangat dicintainya. Malampun tiba menyelimuti
jagad, Sang Mahaprabu Banjaransari menuju sanggar pamujan, siap bersemadi
meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Ketika tengah malam tiba mahaprabu
dibangunkan dari semedinya,
" Bangunlah Banjaransari .....hanya cucumu yang bisa
membawa kembali keutuhan dan kejayaan negerimu..." kata suara yang memberi
petunjuk, Mahaprabu Banjaransari memberi hormat dan bertanya," Duh pukulun
ngaturaken sembah bekti kawulo atas petunjuknya, siapakah dia diantara cucu
hamba pukulun ?"
" Haryo Sedah .."
" Haryo Sedah ? Duh pukulun cucu hamba yang ini
bukanlah seorang yang bisa berperang pukulun ?"
" Tapi ingat Banjaransari, Haryo Sedah harus
berperang layaknya seorang ksatria! Jika tidak kelak negerimu ini akan menerima
karma! Terpuruk lama setelah runtuhnya kerajaan yang akan didirikan haryo Sedah
cucumu! Ingatlah banjaransari !"
Setelah terakhir bersabda Sang Hyang Indra pergi ke
khayangan. Sang Mahaprabu tertegun sesaat setelah menerima petunjuk,"
kenapa harus haryo Sedah yang menerima amanat ini? Bukan Haryo Bangah yang
memang seorang satrio?"
Memang benar apa yang dipikirkan sang Mahaprabu karena
Haryo Sedah lain daripada para pangeran lainnya yang suka menjadi ksatria yang
berperang membela negara di medan laga justru haryo Sedah lebih suka bercocok
tanam didesa sehingga rakyat memanggilnya Raden Tanduran. Prabu Siung wanara dipanggil
ayahandanya di puri dalem kepabron, di sana telah hadir pula Maharesi Kertajaya
dan Prabu Cakradewa,
" Ngger anakmas Siung Wanara bagaimana cara membuat
anakmu ragil si Haryo Sedah supaya mau menerima amanat memimpin Nuswantara dan
merebut kembali tahta dari Jayakatwang beserta pasukan Mongol?"
" Memang sulit kanjeng Rama untuk membuat Haryo
Sedah mau meninggalkan tanamannya apalagi menyuruhnya berperang."
Maharesi kertajaya menyela," Panggil saja Raden
Tanduran menghadap kesini, nanti biarlah aku yang memintanya pergi ke wetan
memimpin penyerangan merebut kedaton Ndandangan."
Mahaprabu dan kedua putranya
menyetujui usul Maharesi Kertajaya.
Lalu dikirimlah utusan ke desa
tempat Raden Tanduran berada, disuatu persawahan mereka berhasil menemukannya
saat beristirahat disebuah gubug,
" Mohon ampun raden, hamba
utusan dari Kraton Karang Kamulyan membawa titah dari eyang raden sang
Mahaprabu Banjaransari untuk menghadap."
Raden Tanduran sangat menghormati
eyangnya, sehingga tak bisa menolak titah beliau.
" Baiklah utusan besok aku
akan menghadap ke Karang Kamulyan."
Sepeninggal utusan dari Karang Kamulyan itu Raden
Tanduran tak beranjak dari gubug ditengah persawahan itu, sambil menyantap polo
pendem Raden Tanduran menyandarkan tubuhnya ke tiang bambu gubug itu,
“ Apa? Ada apa eyang Banjaransari memanggilku ke Karang
Kamulyan? Apa ada hubungannya dengan pemberontakan di Wetan? Hmm biarlah itu
menjadi urusan besok.“
Raden Tanduran tertidur digubuk sampai sore hari. Malam
harinya seperti biasa Raden Tanduran bercengkrama dengan Aki Soma dan Nini Soma
di beranda rumah.
“ Nini, itu sudah kehendak Dewata jika memang Raden
Tanduran harus meninggalkan kita di sini, garis takdir menunggunya untuk
berkiprah, kita harus rela dan bangga kita suatu hari kelak Raden Tanduran
menjadi tokoh besar di Nuswantara ini pernah hidup bersama kita disini, menaman
polo pendem, polowijo didesa ini“.....tak terasa Aki Soma menitik air mata.
Demikian pula Nini Soma menitikan air mata membuat hati
Raden Tanduran semakin sedih karena memang sebenarnya diapun berat meninggalkan
Aki dan Nini Soma, itu merupakan pertemuan terakhir bagi mereka. Esok harinya
di puri ndalem keprabon Karang Kamulyan diadakan pisowanan agung yang khusus
dihadiri para sesepuh kerajaan dan seluruh panglima armada, tak berapa lama
kemudian Raden Tanduran datang dan menghaturkan sembah bekti pada sesepuh
kerajaan diantaranya eyang mahaprabu banjaransari, Maharesi Kertajaya, Ayahanda
Prabu Siung Wanara, pamanda Prabu Cakradewa, kakanda Haryo Bangah, setelah
menghaturkan sembah bekti Raden Tanduran duduk bersila menanti sabda para
sesepuh,“ananda Haryo Sedah kami semua memanggil ananda ke pisowanan agung ini
untuk meminta kesanggupan ananda melaksanakan titah dari eyangmu“, Maharesi
Kertajaya memulai sabda,
“ Mohon ampun eyang Maharesi titah apakah yang harus
ananda laksanakan?“
“ Biarlah eyangmu sendiri yang menitahkan kepadamu ngger.
Lalu sang Mahaprabu Banjaransari bersabda,“ Ananda haryo Sedah sesuai petunjuk
yang Mahakuasa, hanya engkaulah yang sanggup membawa kejayaan kembali
Nuswantara, hanyalah anandalah yang mampu menjadi Maharaja di Nuswantara ini,
hari ini kami para eyang, Bapa, pamanda, kakandamu serta seluruh panglima
armada menanti kesanggupan ananda menerima amanat ini.....“
Bergetar kencang jantung Raden Tanduran, gemetar seluruh
tubuhnya dia tak menyangka menerima titah dari eyangnya yang amat berat
baginya, Raden Tanduran terdiam, wajahnya pucat pasi, tertunduk tanpa daya,
melihat hal itu Haryo Bangah menghampiri adiknya dan menepuk bahunya dan
berkata,
“ Adinda jangan takut kakanda dan seluruh yang hadir di
pisowan agung ini akan membantumu dengan segala daya, adinda bangkitlah
tunjukan kalau engkau juga seorang ksatria dari Magadha!“
Raden Tanduran mengangkat wajahnya memandang wajah
kakandanya,“ Benar kakanda dinda juga seorang ksatria magadha!“ tersenyum Haryo
Bangah mendengar Jawaban adindanya selanjutnya Maharesi Kertajaya juga
bersabda, “ Ananda Haryo Sedah benar apa yang Dikatakan kakandamu, kamu pasti
bisa melaksanakan amanat ini, namun ingatlah ngger bertindaklah secara ksatria,
karena engkau adalah seorang ksatria!“
Selanjutnya ayahanda, pamanda juga memberikan dukungan
pada Raden Tanduran namun sebenarnya dalam hati dia merasa tak sanggup
memanggul amanat ini, sejak kecil dia tak suka kekerasan apalagi peperangan
karena kecil dia lebih suka menaman polowijo dan hidup didesa, namun dihadapan
para sesepuhnya tak mungkin dia menolak amanat ini.
“ Baiklah para eyang, Bapa prabu, pamanda prabu dan
seluruh yang hadir di pisowan agung ini. Hamba ananda Haryo Sedah siap menerima
dan melaksanakan amanat yang mahaberat ini.. Semoga Yang Mahakuasa menguatkan
ananda...“
Semua yang hadir merasa lega akan kesanggupan Raden
Tanduran menerima amanat, selanjutnya disusun strategi perebutan kembali Tlatah
wetan dari tangan adipati Ndandangan Prabu Ndandang Gendis atau Jayakatwang.
" Nuwun sewu Bapa, apa dalam pertemuan itu tercapai
sebuah rencana untuk merebut kembali Jawi Wetan ?"
" Sebenarnya
sulit untuk menyusun rencana itu ngger, karena Jayakatwang terlanjut menguasai
instalasi berbahaya tersebut, bahkan Maharesi Kertajaya sendiri dulu yang
memilih Jayakatwang untuk memegang instalasi itu tak bisa mematahkan kode
rahasianya karena telah diubah oleh Jayakatwang."
“ Ngger, Jayakatwang memegang kendali pertahanan
Singosari dan instalasi yang amat berbahaya, tentu saja kalau seluruh armada
besar dikerahkan akan mudah terlacak oleh Jayakatwang dan bila dia panik maka
instalasi itu akan digunakan maka seluruh Jawa akan tenggelam, ini yang sangat
dihindari Mahaprabu Banjaransari, makanya penyamaran harus dilakukan dan harus
menempuh perjalanan darat dengan jalan kaki dari Karang Kamulyan menuju Tlatah
Wetan. Resi Tunggul Manik meneruskan kisahnya, dalam perjalanan yang amat jauh
itu Raden Tanduran beserta 50 orang prajurit khusus menyamar sebagai petani yang
berpindah-pindah tempat, dari ladang ke ladang hingga mendekati Tlatah Wetan,
hampir 2 purnama lamanya mereka bergerak. Ketika memasuki daerah Watu Jago
disebelah timur Gunung Mahendro Raden Tanduran mengajak rombongan berhenti
beristirahat disana, para prajurit yang
Yang
menyamar itu segera membuat gubug untuk peristirahatan, sementara yang lain
membuka ladang. Raden Tanduran beristirahat di dekat Watu Jago bersama
temenggung senopati prajurit khusus yang bernama Temenggung Sucitro,"
Paman Citro apa kadipaten Ndandangan masih jauh?"
" Masih cukup jauh raden, memangnya ada raden ?
"
" Tidak ada apa apa kok paman hanya capek saja
berjalan dari Magadha sampai di Watu Jago ini, paman pernah tahu kekuatan
angkatan perang Ndandangan dan mongol?"
" Sangat tahu raden, karena dulu paman pernah
menjadi prajurit Singosari sebelum diperintahkan eyang raden bergerak ke Karang
Kamulyan, mereka sebenarnya tidak terlalu istimewa raden, hanya prabu
Jayakatwang memegang kendali instalasi yang penting dan berbahaya sehingga
menyulitkan kita menghadapinya."
"
Benarkan itu paman ?"
"
Benar raden, seandainya seluruh kekuatan Mongol dan seluruh didunia digabungkan
melawan kita, kita pasti unggul raden.
"
Walaupun Temenggung Sucitro memberi keyakinan pada Raden Tanduran tetap saja
semangatnya yang belum bangkit, malahan Raden Tanduran memerintahkan prajurit
prajuritnya untuk menaman palawija dan bertahan disekitar Watu Jago sampai
memanen palawija, tentu saja prajurit-prajurit tak bisa membantah perintahnya
termasuk Temenggung Sucitra yang tak henti hentinya menasehati Raden Tanduran
untuk melaksanakan tugas merebut kedaton Ndandangan.
Akhirnya
sudah hampir 7 hari, Raden Tanduran ngotot bertahan ditempat ini, hal ini
memaksakan Temenggung Sucitro bertindak demi menjalankan tugas utama merebut
kedaton Ndandangan. Diam-diam Temenggung Sucitro mengambil peralatan khusus
yang disembunyikan dalam sebuah besek lalu menuju tempat yang tidak diketahui
Raden Tanduran dan para prajurit, rupanya senopati prajurit khusus ini
mengadakan komunikasi rahasia dengan mahaprabu Banjaransari di Karang Kamulyan.
Dalam komunikasi
tersebut Temenggung Sucitro melaporkan tindakan Raden Tanduran yang
berlama-lama bertahan dikawasan Watu Jago seperti enggan bahkan hendak
meneruskan perjalanan. Mahaprabu Banjaransari kecewa cucunya takut menjalankan
amanatnya, pada malam harinya beliau menggunakan Ajian Ngrogo Sukma untuk
mengingatkan Raden Tanduran akan tugas utamanya.
Sementara
di Watu Jago malam telah larut, sebagian prajurit telah tidur termasuk Raden
Tanduran yang tampak pulas, dalam alam mimpi Raden Tanduran seolah olah berada
di padang ilalang yang luas, hanya seorang diri.
Di padang
ilalang itu Raden Tanduran bingung tak tahu arah harus menempuh arah, ditengah
kebingungannya terdengar ayam jago berkokok dengan suara nyaring membahana ke
seluruh padang ilalang ...Raden Tanduran mendekati suara ayam jago itu,
ternyata ayam itu berada diatas batu ditengah padang ilalang itu. Raden
Tanduran semakin mendekat tiba tiba terdepan suara memanggil-manggil,
"
Eyang ,eyang lihatlah cucumu ini eyang ..." Raden Tanduran terkejut karena
tak ada orang lain di padang ilalang selain dirinya dan ayam jago itu.
" Hai
siapakah engkau tunjukkanlah dirimu padaku ! "
"
Eyang ,eyang saya disini eyang ..." Raden Tanduran makin bingung,
" Di
sini dimana ? Ayo jangan bermain main padaku ! "
"
Eyang saya ada didepanmu eyang ..." Raden Tanduran melihat didepannya
hanyalah seekor ayam jago yang tadi berkokok," Di depan tak ada jalma
manungso kecuali seekor ayam jago itu ! "
"
Eyang Mahaprabu Brawijaya saya ini ayam jago yang ada di depan eyang ."
Alangkah
terkejutnya Raden Tanduran dengan kenyataan yang dihadapinya ," Engkau
sebenarnya siapa ? Ayam jago ? Kenapa engkau memanggilku eyang ? Dan sebutan
Mahaprabu Brawijaya ?"
"
Eyang, saya adalah cucumu Hayam Wuruk yang kelak menjadi Mahaprabu di Nuswantara,
namun eyang semua tak kan terjadi bila eyang tidak melaksanakan amanat para
sesepuh eyang Mahaprabu Banjaransari merebut kedaton Ndandangan dari Prabu
Jayakatwang, maka ananda cucumu ini eyang tidak akan pernah terlahir, tetap
menjadi ayam jago selamanya.."
Raden
Tanduran tertunduk, tak mampu memandang tatapan memelas dari ayam jago itu.
" Jika eyang tidak kasihan kepada cucumu ini terserah eyang mungkin sudah
nasibku yang hidup jadi ayam jago kesepian seumur hidup.."
"
Tidak tidak bukan begitu !"
Tiba tiba
ayam itu menghilang dan terbangunlah Raden Tanduran dari tidurnya. Para
prajurit terbangun dari tidurnya setelah mendengar teriakan Raden Tanduran dan
menghampiri Raden Tanduran di dalam gubugnya," Ada apa raden ? Ada apa ?
Tanya Temenggung Sucitro yang ikut terbangun.
" Tiiidak ada apa apa ... Paman, sudahlah paman
sebaiknya semua bersiap siap menuju Ndandangan esok."
Lega hati Temenggung Sucitro seluruh prajurit khusus itu
mendengar perintah Raden Tanduran untuk segera berkemas melanjuntukan perjalanan
menuju kadipaten Ndandangan," Sendika dawuh raden, kami segera berkemas
kemas, ayo prajurit persiapkan semua menuju Ndandangan!" perintah
Temenggung Sucitro kepada anak buahnya, tak lama kemudian terdengar ayam
berkokok dari tengah hutan rombonganpun kembali berjalan kaki ke arah timur
melanjutkan perjalanan.
" Bapa resi, apakah Raden Tanduran benar-benar
berniat menyerbu ke Ndandangan?"
Damarwulan menanyakan apa benar Raden Tanduran
benar-benar berniat melanjuntukan perebutan kembali Ndandangan,"
Sebenarnya Raden Tanduran bimbang ngger, namun karena dalam mimpinya bertemu
ayam jago yang mengaku cucunya beliau jadi kasihan, lalu berniat melanjutkan
perjalanan."
" Dalam perjalanan kaki selama 1 hari, sampailah di
tepi sungai Brantas, karena dalam penyamaran supaya tidak terdeteksi pihak
Jayakatwang sehingga terpaksa mereka membuat rakit untuk menyeberangi sungai
Berantas untuk menuju Singosari ."
" Untuk apa harus ke Singosari dulu Bapa?"
" Karena sebenarnya masih ada satu bregodo prajurit
Singosari yang bersembunyi disana, maka Raden Tanduran dan 50 prajurit khusus
dari Kulon akan bergabung dan menyusun strategi untuk menyerang Ndandangan dari
sana ngger ,namun..."
Resi Tunggul Manik menghentikan kalimatnya.
" Lalu kenapa Bapa ?"
" Semua itu tak pernah kesampaian ngger ... Ketika
rakit siap diturunkan ke air dari arah timur terlihat rombongan kapal jung
berwarna biru berjajar memenuhi sungai Berantas."
"
Apakah itu armada dari Mongolia Bapa ?"
"
Benar ngger mereka sengaja dikirim kaisar Kubhilai Khan untuk membantu
Jayakatwang yang hendak meluaskan wilayah ke Kulon, karena Raden Tanduran belum
tahu seumur hidupnya melihat rombongan armada laut sebuah kerajaan bahkan
armada dari Magadha sekalipun, sehingga melihat banyaknya kapal dan prajurit
Mongolia yang lewat membuat Raden Tanduran gemetaran ketakutan."
Lalu Resi
Tunggul Manik menceritakan bagaimana takutnya Raden Tanduran melihat begitu
banyaknya prajurit Mongolia, dengan gemetar ketakutan Raden Tanduran berkata
pada Temenggung Sucitro," Paman sucitro apa mungkin kita bisa melawan
musuh sebanyak itu ..paman, apa kita bisa selamat dari mereka paman?"
"
Raden Tanduran kekuatan mereka tak ada artinya bagi armada kita ! Raden
Tanduran bahkan kami yang hanya 50 orang prajurit saja sanggup melawan mereka
!" Jawab Temenggung Sucitro lantang menyadarkan junjungannya.
Tidak paman ! Kita takkan menang ! Kita pasti
tidak selamat paman ! "
" Raden ingatlah amanat eyang mahaprabu ! Raden
pasti mampu ! Raden juga ksatria Magadha yang unggul !"
Sampai pada kisah ini Damarwulan bertanya pada Resi
Tunggul Manik,“ Bapa kenapa Raden Tanduran hanya diringi 50 orang prajurit
khusus? Bukan angkatan perang Tlatah Kulon amat sanggup menghancurkan kadipaten
Ndandangan?“
" Sebenarnya yang ditakutkan Mahapatih Banjaransari
bukanlah bantuan tentara Mongol ngger, tetapi Jayakatwang menguasai instalasi
yang sangat berbahaya karena bila Jayakatwang marah dia bisa menenggelamkan
seluruh tanah Jawa, itulah yang disesalkan Mahapatih Banjaransari kenapa
instalasi berbahaya itu sampai diserahkan pada Jayakatwang."
Pada suatu tempat mereka berhenti di suatu tempat didekat
pantai, Temenggung Sucitro mencoba membujuk Raden Tanduran," Raden kenapa
harus lari raden? Bregodo kita di Singosari menunggu kita disana raden ?"
" Maafkan saya paman Temenggung, tetapi saya takut
melihat kekuatan Mongolia belum lagi ditambah dengan kekuatan Ndandangan paman
.. .kita harus minta bantuan Adipati Manduro paman .." Temenggung Sucitro
mengerti ketakutan junjungannya itu.
" Baiklah Raden Tanduran, sekarang kita menyeberang
ke Manduro menuju kediaman Adipati Cakraningrat."
Lalu merekapun menuju Manduro menumpang perahu nelayan
hanya Raden Tanduran yang ke Manduro sementara 50 orang prajurit tersebut
bertahan didekat pelabuhan Ujung Galuh yang dijaga ratusan prajurit Ndandangan
dan prajurit Mongolia, untuk menyusun strategi penyerangan terhadap Ndandangan,
sebagian menuju Singosari menghubungi Bregodo pasukan Singosari. Sementara itu
Raden Tanduran dan Temenggung Sucitro telah sampai di kedaton Manduro, Adipati
Arya Wiraraja menerima Raden Tandurandan Temenggung Sucitro di puri dalem
keprabon, sang Cakraningrat amat terkejut dengan pelarian Raden Tanduran dari
tugas mulia merebut Ndandangan," Raden Haryo Sedah, kenapa harus lari
seperti ini? Biarpun raden belum pernah berperang di medan peperangan tapi
hamba yakin raden juga seorang ksatria yang sakti mandraguna keturunan yang
perkasa Mahaprabu Watugunung dari Magadha yang pernah mengalahkan para dewa
dikhayangan! Janganlah takut raden, hamba akan mengerahkan seluruh prajurit
Manduro membantu raden melawan Jayakatwang dan Mongol !"
Raden Tanduran tampak lega dengan perkataan Adipati
Cakraningrat tersebut," Terimakasih paman Cakraningrat ."
" Temenggung Sucitro, andika amat mengenali dan
paham betul keadaan pelabuhan Ujung Galuh, aturlah siasat bersama senopatiku
untuk mencegat dan menghancurkan semua kapal kapal jung Mongolia yang hendak
kembali ke negerinya besok pada hari menjelang malam." Temenggung Sucitro
dan senopati Lembu Sora menjawab," Sendiko dawuh kanjeng adipati."
Adipati
cakraningrat ikut bersama dalam pasukan gabungan itu, melihat banyaknya
dukungan dari Manduro dan Singosari membuat keberanian Raden Tanduran timbul.
Sementara itu disebelah selatan pelabuhan Ujung Galuh yang kelak dikemudian
hari disebut Surabaya, Sura
artinya berani, Baya artinya bahaya jadi artinya tempat pertama kali Raden
Tanduran berani menghadapi
bahaya. Pada menjelang malam siasat penyergapan telah disiapkan di
selatan pelabuhan Ujung Galuh, ratusan prajurit menyamar sebagai nelayan yang
menumpang perahu-perahu nelayan, lengkap dengan persenjataannya sementara
ratusan lainnnya bersiap-siap dengan persenjataan berat berada kedua tepi
sungai Mas yang tersembunyi, tak lama kemudian dari arah selatan nampak 3 kapal
jung Mongolia sedang berlayar menuju pelabuhan, Senopati Lembu Sora melaporkan
kepada Adipati Cakraningrat kalau ada 4 lagi kapal jung Mongolia yang agak jauh
dari rombongan pertama,
" Bapa adipati apakah boleh kita serang mereka
sekarang?" sang Adipati Manduro berpaling kearah Raden Tanduran,"
Raden Tanduran apa kita serang mereka? Sudah siapkah diri raden?" dengan
suara lantang menjawab,
"
Tentu saja saya siap paman adipati ! ! Tetapi kita tunggu tanda dari paman
Temenggung Sucitro yang akan memberi tanda dimulainya serangan dengan letusan
tembakan laser dari kerisnya !"
"
Baiklah raden kami siap ! " sementara itu perahu perahu nelayan yang
ditumpangi ratusan prajurit tlah membuat posisi menghalangi laju kapal jung
musuh dengan merapatkan perahu masing-masing sehingga mau tidak mau kapal-kapal
musuh akan terhenti dan itu tanda dimulainya penyergapan, beberapa saat
kemudian 3 kapal jung musuh berhenti karena terhalang perahu perahu nelayan,
tak lama kemudian terlihat cahaya putih terlihat diseberang sungai.
" Itu laser dari Temenggung Sucitro ! Ayo wadyabala
serbuuuuu !" Raden Tanduran segera meloncat dengan ilmu meringankan tubuh
menerjang kearah kapal jung musuh, serentak pertempuran diatas airpun terjadi
dengan dahsyatnya ! Prajurit mongol yang tidak siap menerima serangan mendadak
banyak menjadi korban tajamnya pedang dan letusan laser dari pedang prajurit
gabungan itu. Raden Tanduran bertarung dengan
gagah berani, Temenggung Sucitro, Senopati Lembu Sora tak kalah trengginasnya
membabat musuh, diantara para senopati muda tampil pula Nambi, Ronggolawe dan
lain-lain menunjukan keperkasaannya, dalam hitungan menit 3 kapal jung berhasil
dibakar berserta seluruh awaknya tewas. Semuanya
hancur terbakar dan tenggelam.
Sementara itu keempat kapal yang ada di belakangnya ikut
menyerang dengan tembakan meriamnya namun perlawanan 4 kapal jung Mongolia juga
bernasib sama dengan ketiga kapal jung sebelumnya habis terbakar dan semua awak
terbunuh. Selanjutnya bregodo Singosari menyerang prajurit Ndandangan dan
Mongolia yang menjaga pelabuhan, dalam waktu singkat pelabuhan dapat dikuasai
bregodo Singosari yang dipimpin senopati muda Ronggolawe dan Nambi.
Atas kemenangan ini Raden Tanduran sangat bangga karena
ternyata mampu berperang juga di Surabaya tempat awalnya timbulnya keberanian
menghadapi musuh, lalu Raden Tanduran disebut Raden Wijaya karena kemenangan
kemenangan melawan musuh. Sementara itu di Beijing ibukota kekaisaran Mongol
yang baru, kaisar Kubhilai Khan tampak gusar karena armada laut yang dikirimnya
membantu Ndandangan belum kembali. Setelah mengadakan persiapan maka armada
laut yang lebih besar dikirimkan mengarungi samudera menuju Jawa, armada laut
ini berjumlah 20.000 orang prajurit dengan puluhan kapal jung tempur yang
membawanya, ada tiga jenderal yang memimpin yaitu Ike Mehsi, Kao Sing dan Shi
Pi, namun kelemahannya armada laut ini adalah tak satupun dari anggota armada
ini yang mengetahui keadaan Nuswantara khususnya pulau Jawa. Inilah yang akan
menjadi bencana bagi armada laut Mongolia ketika sampai di pulau Jawa, setelah
beberapa lama mengarungi samudera dengan segala kesulitan akhirnya sampailah
mereka di perairan Jawa.
Lalu sebagian armada merapat di pelabuhan Tuban untuk
mencari keterangan tentang keadaan di Ndandangan, namun sebelum kedatangan
armada Mongolia ini beberapa hari yang lalu pelabuhan Tuban ini telah dikuasai
pasukan gabungan Magadha, Manduro dan bregodo Singosari dari tangan pasukan
Ndandangan. Ketika beberapa kapal jung mongol merapat di dermaga mereka
disambut pasukan gabungan tersebut yang mengaku sebagai prajurit Ndandangan,
tentu saja armada mongol tak curiga karena memang dalam armada Mongol ini tak
satupun yang sudah pernah ke Jawa jadi ini adalah pertama kali mereka masuk ke
Tlatah Jawa, oleh pasukan pelabuhan tersebut armada Mongolia diminta meneruskan
perjalanan menuju pelabuhan Ujung Galuh untuk menemui Raden Tanduran atau kini
lebih sering disebut Raden Wijaya, lalu armada laut Mongolia itu berlayar
menyusuri pantai utara Jawa menuju Ujung Galuh . Raden Wijaya, Adipati Cakraninggrat,
Temenggung Sucitro, Lembu Sora dan para senopati muda lainnya tampak menyusun
rencana untuk memanfaatkan Kedatangan armada Mongol yang benar-benar buta
keadaan di Jawa, ini jelas sangat menguntungkan Raden Wijaya untuk menggempur
Jayakatwang di Ndandangan karena Jayakatwang akan mengira kedatangan armada
kedua Mongolia ini untuk membantunya melabrak tlah Kulon, sehingga
pergerakannya takkan dicegah,justru sebaliknya akan disambut gembira. Tepat
tengah hari seluruh armada Kitai Nagari ini sampai di pelabuhan Ujung Galuh,
Raden Wijaya beserta Temenggung Sucitro, Lembu Sora, Ronggolawe dan Nambi
menaiki sekoci.
Merapat ke kapal jung yang ditumpangi ketiga jendral yang
memimpin armada mongol yaitu Jenderal Ike Mehsi, Kao Sing dan Shi Pi, dipimpin
Jendral Ike Mehsi mereka menyambut kehadiran Raden Wijaya beserta para
senapatinya.
" Mari silahkan duduk tuan Wijaya dan tuan-tuan
sekalian, mari ..."
" Terimakasih tuan Jenderal Ike Mehsi, Jenderal Shi
Pi dan Jenderal Kao Sing, selamat datang di Ujung Galuh tuan-tuan." Raden
Wijaya duduk di kursi berhadapan dengan Jenderal Ike Mehsi sementara dua
jenderal berdiri demikian pula Temenggung Sucitro dan 2 orang senopati
lain," Tuan wijaya kami diutus paduka Maharaja Kubhilai Khan untuk
membantu Ndandangan dan mencari tahu kenapa armada kami yang pertama tidak
kembali."
" Itulah masalahnya jenderal, Prabu Jaya Kantiwong
dari Ndandangan berserta seluruh prajuritnya telah terbunuh termasuk seluruh
prajurit Mongolia juga tewas."
" Apa ? ? Siapa yang membunuh semua prajurit mongol
tuan Wijaya ??" tanya Jenderal Ike Mehsi dan kedua jenderal itu terkejut.
" Justru itu yang kami akan serang mereka
tuan-tuan." Raden Wijaya mulai mengarahkan ketiga jenderal ini pada tipu
dayanya .
" Tuan Wijaya siapakah mereka yang mengakibatkan
teman-teman kami tewas! Pasti akan kami hancurkan! " Jenderal Kao Shing
ikut berbicara dengan gusar.
" Apa benar armada tuan hendak menghancurkan
mereka?" Lembu Sora juga menyela, sambil mengerdipkan mata kearah Raden
Wijaya yang duduk disamping kirinya.
" Tentu saja tuan, kami akan menuntut balas kematian
teman-teman kami !"
" Baiklah kalau begitu tujuan kita sama tuan Ike
Mehsi, besok kita bersama-sama menyusuri sungai menuju Jung Biru Ndandangan
karena musuh kita ada disana ! "
" Tapi siapakah mereka tuan Wijaya !"
" Ketahuilah tuan Ike Mehsi yang membunuh
Jayakatwang adalah ayahnya yaitu Mahaprabu Kertajaya putra dari Mahaprabu
Kertanagara yang telah melukai dan memotong utusan raja tuan-tuan, Meng Ki
!"
Bukan main marahnya ketiga jenderal Mongolia itu, lalu
Jenderal Kao Sing berkata," Jenderal Ike Mehsi dan Jenderal Shi Pi kita
harus hancurkan pasukan Mahaprabu Kertajaya !" bukan main gembiranya hati
Raden Wijaya dan ketiga senopatinya melihat tipu dayanya berhasil, setelah
turun dari kapal jung Mongol ini mereka kembali naik sekoci kembali merapat di
dermaga sementara armada Kitai Nagari itu berlabuh di sana namun tetap dalam
kapalnya.
Sementara itu di kedaton Ndandangan Prabu Dandang Gendis
sedang menerima laporan dari prajurit telik sandinya tentang kedatangan armada
Mongolia ke Ndandangan, prabu Ndandang Gendis mengira kedatangan armada
Mongolia untuk membantunya meluaskan wilayah hingga Tlatah Kulon karenanya dia
tak menghiraukan kekhawatiran pada bawahannya.
" Gusti prabu kita harus tetap waspada dengan setiap
gerakan armada dari negeri Mongolia tersebut gusti." pinta Mahapatih Kebo
Mundarang kepada rajanya namun Prabu Jayakatwang tidak menanggapi dengan
serius.
" Paman Kebo Mundarang, kaisar Kubhilai Khan
mengirimkan armadanya yang kedua kali ini juga pasti akan membantu kita
meluaskan wilayah ke Kulon yang selama ini terhalang Banjaransari dan kedua
putranya, jadi tak perlu khawatir paman."
" Tetapi
gusti prabu tak ada salahnya kita gunakan peralatan pertahanan kita untuk
menjaga semua kemungkinan yang ada, karena mungkin saja ada gerakan lain
dibelakang armada Mongolia."
Prabu Jayakatwang tersenyum," Sudahlah paman
sebaiknya siapkan penyambutan untuk saudara-saudara kita dari Kitai Nagari itu
."
Mahapatih Kebo Mundarang tak bisa berkata lagi terpaksa
menuruti keinginan rajanya. Sementara itu pergerakan armada Mongolia telah
memasuki Pelabuhan Canggu, menurut kesepakatan antara Raden Wijaya dan 3
jenderal Mongolia pasukan dibagi 2 bagian, pasukan pertama dipimpin Jenderal
Ike Mehsi dan Jenderal Kao Sing tetap melanjutkan perjalanan melalui sungai
Brantas bersama separuh pasukan dari Jawa yang dipimpin senopati Lembu Sora dan
Nambi, pasukan yang kedua melalui darat dipimpin Jenderal Shi Pi sementara
Raden Wijaya, Temenggung Sucitro dan Ronggolawe bersama prajurit-prajuritnya
menuntun pasukan Mongolia melalui darat.
Selanjutnya kedua pasukan bergerak tanpa hambatan, karena
memang pihak Ndandangan mengira kedatangan mereka bukan untuk menyerang
sehingga pergerakan sangat lancar. Sementara pasukan darat telah sampai di
Wirasaba, Raden Wijaya meminta pasukan berkemah dahulu disana, setelah menyusun
rencana tentang strategi penyerangan bersama jenderal mongol yaitu Shi pi,
mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Ndandangan. Tepat tengah hari kedua
pasukan telah mencapai tapas batas kota Ndandangan, armada dipimpin 2 jenderal
mongol dan 2 senopati telah bersiap didekat pelabuhan sebelah utara kota,
sementara pasukan darat yang dipimpin Raden Wijaya, Jenderal Shi Pi dan 2
senopati juga hampir sampai ditimur kota Ndandangan .
Tak lama kemudian terdengarlah letusan laser yang amat
dahsyat mengejutkan seluruh penghuni kota Ndandangan, serentak serangan dimulai
ribuan prajurit gabungan Mongolia dan Jawa berhamburan merangsek
prajurit-prajurit Ndandangan yang tidak siap, korbanpun berjatuhan. Resi
Tunggul Manik tidak menceritakan secara detail peperangan ini, namun secara
umum kadipaten Ndandangan dapat direbut dalam waktu setengah hari, Prabu
Jayakatwang dan seluruh pembesar kedaton terbunuh, para putri kedaton ditawan
termasuk seorang bayi yang masih merah yang merupakan putra Prabu Jayakatwang.
Setelah diadakan pembersihan akibat perang tersebut, para tawanan diangkut ke kapal
jung Mongolia hendak dibawah pulang namun dicegah Raden Wijaya.
Tentu saja sempat terjadi ketegangan antara Raden Wijaya
dan ketiga jenderal Mongol itu ," Tuan wijaya kenapa tuan mencegah kami
membawa para putri dan bayi merah ini sebagai tawanan kami ke kapal!"
" Jenderal Ike Mehsi tawanan itu harus ditahan dulu
bersama kami!" mendengar ucapan tegas Raden Wijaya membuat Jenderal Koa
Shing marah dan mencabut pedangnya dan mengarahkan kearah Raden Wijaya, namun
Ronggolawe menghadangnya dengan keris pusakanya sehingga terjadi benturan keras
...taaaang!!! ,pedang milik Jenderal Kao Shing terpental jauh sementara
Jenderal Kao Shing mengerang kesakitan memegangi pergelangan tangan kanannya
yang seperti terbakar, kedua prajurit kedua belah pihak berhadapan mencabut
senjata masing masing namun Jenderal Ike Mehsi mencoba melerai," Cukup ! Kao shing ! Tuan wijaya baiklah
urusan tawanan kami serahkan tuan."
"
Baiklah tuan Ike Mehsi terimakasih tuan, sebagai perayaan kemenangan kita atas
Maharaja Kertajaya nanti malam kita adakan pesta di istana ini tuan."
" Oh
bagus bagus tuan Wijaya, ayo-ayo nanti malam kita pesta-pesta !" akhirnya
keteganganpun reda antara kedua pasukan, sementara itu Ronggolawe senopati muda
itu dipanggil pamannya senopati Lembu Sora untuk menemui Raden Wijaya dipuri
dalem keprabon Ndandangan disana tampak Adipati Manduro Cakraningrat atau Arya
Wiraraja," Ronggolawe sudahkan engkau siapkan minuman tuak tuban untuk
pesta nanti malam?" tanya adipati cakraningrat pada ronggolawe," Sendiko
dawuh gusti semua sudah siap." Raden Wijaya tersenyum dan berkata ,"
Kakang lembu, Ronggolawe ingatlah pasukan kita tak boleh salah minum, biarlah
orang orang mongol itu yang mabuk lalu kita habisi semua, mengerti? Biar kakang
Nambi yang menjaga pelabuhan dan membereskan pasukan Mongol disana."
"
Sendiko dawuh raden, pasti arak tuban
akan membuat prajurit-prajurit Kitai Nagari itu benar-benar mabuk."
Setelah memberi penghormatan, ronggolawe senopati yang masih amat muda
meninggalkan puri dalem keprabon untuk menyiapkan segala sesuatu yang hendak
diperlukan dalam pesta kemenangan nanti malam. Malampun tiba, seluruh anggota
prajurit Mongolia diperintah ketiga jenderal mereka untuk naik kedarat untuk
berpesta pora, makan minum sepuas-puasnya, menari dan bernyanyi bersama para
penari yang disiapkan. Sementara itu prajurit dari Kulon, Manduro dan Singosari
berpura-pura ikut mabuk larut dalam pesta tersebut, Jenderal Ike Mehsi,
Jenderal Shi Pi dan Jenderal Kao Sing masih duduk duduk minum arak bersama
Raden Wijaya yang menemaninya.
Malam kian
larut suara hiruk pikuk pesta tersebut mulai berkurang, tampak
prajurit-prajurit Wangsa Yuan berjatuhan mabuk berat disana-sini, melihat
kondisi yang seperti ini Raden Wijaya melihat kesempatan yang tepat untuk
membunuh semua prajurit beserta para jenderalnya telah tiba lalu dengan sebuah
isyarat darinya semua prajurit dari Kulon, Manduro dan Singosari yang pura-pura
mabukpun bangun menghunus senjata masing-masing dan membunuh semua prajurit
Mongol yang telah mabuk berat, tentu saja dengan mudah mereka menghabisi musuh
yang sudah tak berdaya itu.
Raden
Wijaya mendekati ketiga jenderal yang juga tlah mabuk berat itu,"
Tuan-tuan sebaiknya beristirahat." selesai berkata Raden Wijaya mencabut
kerisnya dan menancapkan ke tubuh Jenderal Shi Pi, dengan erangan yang panjang
tubuh Jenderal Shi Pi roboh bermandi darah, Jenderal Kao Shing dan Jenderal Ike
Mehsi dengan sisa-sisa kekuatannya bangkit namun kembal!" kurang ajar!
Tuan wijaya apa yang kamu lakukan?"
Dengan
tubuh terhuyung-huyung kedua jenderal itu mencoba bangkit, namun Raden Wijaya
menyerang mereka dengan tendangan sehingga mereka kembali terjungkal dilantai
istana Ndandangan yang kini penuh mayat-mayat prajurit Mongolia yang dibunuh
sesudah mabuk. Raden Wijaya mendengar suara bayi yang menangis keras, lalu
meninggalkan Jenderal Ike Mehsi dan Jenderal Kao Shing yang masih tergolek
lemah menuju kaputren tempat para tawanan ditahan, semakin dekat semakin tak
tega hati Raden Wijaya mendengar suara bayi yang semakin keras menangis.
Tak lama kemudian
masuklah Raden Wijaya kedalam kaputren, disana semua tahanan masih hidup namun
masih terikat tali, disanalah ada seorang abdi dalem perempuan berusia lanjut
menggendong bayi yang sedang menangis keras sejak tadi," Mbok emban bayi
siapakah yang menangis itu mbok ?" abdi dalem tadi menJawab," Ampuni
hamba gusti bayi ini adalah putra dari gusti Prabu Jayakatwang gusti , ampuni
dia gusti."
" Mbok
emban aku takkan mengganggu bayi tak berdosa ini, malah aku akan mengambilnya
sebagai anak angkatku." kata Raden Wijaya sambil meraih bayi merah dari
abdi dalem perempuan lanjut usia.
Lalu Raden
Wijaya mengendong bayi putra Prabu Jayakatwang dengan penuh kasih sayang, ada
perasaan yang aneh dari dalam dirinya ketika memandang wajah bayi berkulit
putih itu," Anak ini akan menjadi anak angkatku akan kuasuh layaknya
anakku sendiri."
Damarwulan
menanyakan kepada Resi Tunggul Manik apakah bayi itu kelak juga menjadi raja,"
Bapa apakah bayi anak Jayakatwang itu kelak menjadi raja?"
" Bener
ngger kelak bayi itu bertahta di Mojopait dengan nama Jayanegara."
selanjutnya setelah peristiwa pembantaian terhadap armada Mongolia oleh Raden
Wijaya selesai, Jenderal Ike Mehsi dan Jenderal Kao Shing berhasil meloloskan
diri dengan sebagian kecil prajurit sampai Ujung Galuh, dari Ujung Galuh mereka
kembali ke Mongolia menumpang kapal jung mereka yang tersisa.
Resi
Tunggul Manik mengisahkan setelah ditumpasnya armada Mongolia dari kadipaten
Ndandangan, Raden Wijaya dengan segala kebanggaan atas keberhasilannya
memutuskan untuk menghadap eyangnya Mahaprabu Banjaransari di Karang Kamulyan
untuk melaporkan keberhasilan dia dan pasukannya menumpas pemberontakan
Jayakatwang dengan menggunakan kekuatan armada Mongolia dan menghabisi armada
Mongolia dengan tipu daya.
Perjalananpun
dilakukan Raden Wijaya melalui udara untuk mempersingkat waktu tiba di Karang
Kamulyan, para putri kedaton Ndandangan yang sempat ditawan Mongolia dibawanya
pula menghadap termasuk anak angkatnya yang masih bayi . Setiba dikota Karang
Kamulyan Raden Wijaya heran karena semua rakyat yang menjumpainya sepanjang
perjalanan menuju kedaton membuang muka seolah olah benci padanya, termasuk
kakandanya tercinta Raden Haryo Bangah sangat dingin menyambutnya di kedaton
hal ini semakin membuat bingung apa ada yang salah pada dirinya dan rombongan.
Memasuki
puri dalem keprabon Karang Kamulyan dengan langkah ragu Raden Wijaya memasuki
paseban agung, lalu diduduk bersila diikuti para putri Ndandangan memberi sumpah
kepada Mahaprabu Banjaransari dan seluruh sesepuh diantaranya Maharesi
Kertajaya, ayahanda Prabu Siung Wanara dan pamanda Prabu Cakradewa. Dalam
pisowanan agung itu semua wajah sesepuh bermuram durja, hal ini membuat Raden
Wijaya semakin takut dan was was," Ananda Haryo Sedah menghaturkan sembah
pangabekti kepada eyang dan sesepuh semua, eyang ananda melaporkan keberhasilan
tugas merebut kembali kedaton Ndandangan dari tangan Prabu Jayakatwang ."
Tak ada
yang menyambut ucapan Raden Wijaya putra Magadha ini semua diam seribu bahasa,
untuk beberapa saat hening mencekam namun Maharesi Kertajaya bersabda,"
Ananda kami sangat sedih mendengarmu mengalahkan putraku Jayakatwang dengan
tipu daya menggunakan prajurit Kitai Nagari membunuh dengan kejam dan licik!
Dan lagi engkau dengan sangat tidak ksatria membunuh prajurit musuh yang tak
berdaya karena ananda beri minuman keras sehingga mabuk! Ini sungguh
pengecut!"
Bagai
halilintar menyambar muka Raden Tanduran setelah mendengar sabda Maharesi
Kertajaya, wajahnya tertunduk tak berani mengangkat wajahnya.
"
Ananda haryo Sedah engkau membunuh musuh yang sudah tidak berdaya ngger! Itu
amat memalukanku sebagai ayahandamu! Itu tindakan pengecut ngger!" Prabu
Siung Wanara dengan nada marah menunjuk muka putranya. Raden Wijaya benar benar
terkena murka dari para sesepuh, akhirnya dengan suara berat Mahaprabu
Banjaransari bersabda," Nasi tlah telanjur jadi bubur .... Ananda
Haryo Sedah cucuku dan seluruh yang hadir dipisowanan agung ini .... Yang
mahakuasa telah memberi karma atau kutukan atas ketidaksatriaan seorang Haryo
Sedah dalam melakukan tugasnya ... Ngger kerajaan yang ananda pimpin akan
menjadi kerajaan yang Maha Jaya ... Namun akan mengalami kepahitan yang amat
lama setelah keruntuhannya kelak ... Semoga raja terakhir dari negeri ini
waspada akan datangnya masa hukuman kalabendu.."
Raden Haryo Sedah menangis sesengukan menyesali segala
kesalahannya terutama dalam tipu daya menghadapi prajurit Mongolia," Duh
eyang ananda benar-benar lalai dan sangat menyesali perbuatan hamba eyang,
eyang ampunilah kesalahan hamba eyang ..."
" Sudahlah ananda janganlah engkau meratapi
kesalahanmu nasi sudah menjadi bubur ngger, sekarang bangkitlah, bangunlah
kedatonmu, makmurkanlah seluruh rakyat, kembalikanlah kejayaan Nuswantara ini,
kakandamu Haryo Bangah akan mendampingimu memimpin kerajaan yang baru,
jadikanlah dia Mahapatih I Hino." Haryo Bangah menyampaikan kesanggupannya
mendampingi adindanya membangun sebuah pusat Nuswantara yang baru yaitu
Mojopait.
Lalu Resi Tunggul Manik menutup kisahnya dan berkata
dengan serius kepada Damarwulan," Ngger setelah itu mulailah dibangun
kedaton Mojopait diawali dengan pembangunan menara Babelan, Damarwulan anakku
sengaja Bapa ceritakan semua tentang awalnya kerajaan Mojopait kepadamu karena
masa depan Mojopait akan berada ditanganmu ngger dan juga anak cucumu kelak,
ingatlah akan masa kelam yang amat panjang kelak ketika Mojopait benar-benar
surut ngger ....ingatkanlah pada anak cucumu terutama yang terakhir ..."
" Sendiko dawuh Bapa, saya senantiasa mengingatnya,
bahkan akan saya kisahkan kembali pada anak cucu nantinya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar