Jumat, 20 Mei 2016

MENGAIS JEJAK PERADABAN 

BUMI KAHURIPAN


 

  

   





Indonesia di masa lampau dikenal sebagai bangsa
yang besar dan disegani semua bangsa di dunia. Semua itu
karena Nusantara pada saat itu telah maju diberbagai
bidang kehidupan.

Dalam berbagai bidang, Nusantara telah memiliki
keunggulan seperti di bidang pertanian, pelayaran,
maupun arsitektur yang memiliki seni tinggi, seperti yang
terlihat dari peninggalan-peninggalan berbagai periode
kerajaan, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, atau
Candi-candi yang elok di Jawa Timur. Namun dari semua
peninggalan yang telah diketemukan itu terasa terlalu
sedikit bila kita mau berpikir rasional tentang peradaban
kita dahulu. Kalau candinya saja semegah itu, mengapa
tidak ada yang mencari tentang teknologi yang digunakan
pada peninggalan lainnya seperti teknologi tata kota,
teknologi sistem irigrasinya? Kenapa hanya situs-situs
yang sudah ditemukan saja yang dibahas? Bukankah
masuk akal bila masih banyak peninggalan lain yang
belum ditemukan yang berada di sekitar kita?

Karena bisa saja situs-situs yang belum diketemukan
itu akan benar-benar hilang karena ketidaktahuan kita?
Karena ketidakpedulian kita? Mungkin saja situs-situs
tersebut masih terkubur di bawah permukaan tanah, karena
berbagai macam sebab. Bisa saja situs tersebut sekarang
jadi lahan persawahan atau perkebunan, namun yang
sangat disayangkan kalau situs-situs tersebut jadi lahan

Perusahaan atau perumahan, bukankah sangat sulit untuk
mengungkapnya?

Bukankah yang rugi kita semua jika situs-situs
peninggalan leluhur kita lenyap? Bukan tidak mungkin
dalam situs-situs tersebut tersimpan teknologi yang masih
bisa dimanfaatkan dikehidupan bangsa kita sekarang?

Untuk itulah diperlukan kesadaran dari kita semua
untuk menelusuri dan mencari jejak-jejak peradaban masa
lalu untuk diselamatkan, dipelajari, dan dimanfaatkan
untuk kehidupan masyarakat sekarang ini.

-AS-

I.1. JEJAK PERADABAN DI DUKUH
Sumur adalah salah satu bukti adanya sebuah peradaban, karena kehidupan manusia tidak akan jauh dari adanya ketersediaan air, lebih jelas lagi sumur memang sangat vital bagi kehidupan zaman dulu. Jadi sumur merupakan sebuah pertanda adanya sebuah pemukiman suatu masyarakat.

Adanya sumur-sumur kuno yang ada di sebuah dusun tentu sangat menarik untuk ditelusuri. Dalam penelusuran kami di sebuah dusun, kami mendapati adanya informasi dari warga tentang keberadaan Sumur kuno. Kami berusaha menggali informasi tentang sumur kuno itu dan
menanyakan kepada salah seorang warga yang bernama
Bapak Masduki.

Pada mulanya Bapak Masduki sedikit curiga pada kedatangan kami yang bermaksud melihat sumur itu, namun setelah kami sampaikan tujuan kami kepada beliau, akhirnya Bapak Masduki bersedia mengantarkan kami menuju lokasi sumur kuno itu. Sumur kuno itu terletak di
kebun yang bersebelahan dengan tanaman Bambu atau dalam bahasa Jawanya disebut Barongan.



Sumur kuno tersebut tertutup oleh semak-semak yang menjadikannya sulit untuk terlihat. Setelah kami periksa sumur tersebut, kami dapati gambaran tentang kondisi sumur kuno itu. Pada bagian atas sampai dua meter ke dalam terlihat seperti disusun ulang oleh warga, hal ini terlihat dari struktur bata-batanya yang tidak teratur dan bukan dari bata melengkung seperti bata melengkung khas sumur-sumur kuno bundar zaman Mojopahit yang banyak ditemukan di daerah Trowulan.

Pada bagian dalam sumur, di kedalaman dua meter ke bawah terlihat susunannya masih asli dengan bata-bata melengkungnya. Susunan bata masih rapi dan masih terdapat air di dalam sumur ini walaupun sedikit. Sumur ini terletak pada koordinat -7 24’58,52”S 112 29’5,77”T.

Beranjak dari Sumur yang pertama tadi, kami menuju sumur kuno yang kedua, yaitu sebuah sumur yang berada tepat di belakang rumah seorang warga. Menurut keterangan warga, di dekat sumur itu terdapat sebuah Yoni atau Lumpang, dan diceritakan juga bahwa dulu pernah
terdapat sebuah pohon Tanjung, namun tiga tahun yang lalu pohon itu telah roboh.


Seperti yang tampak pada foto di atas, terlihat tongkat yang dipegang oleh mas Eko Jayanto dulunya disitu terdapat pohon Tanjung. Sementara posisi sumur kuno kedua berada di sebelah kanan yoni tersebut. Kami lalu melihat ke dalam sumur, dan yang terlihat pada bagian
atas nampak telah diperbarui namun bagian dasar sumur terlihat bata-bata melengkung menyusun sumur kuno ini. Sumur ini juga masih terdapat airnya walau sedikit. Di dekat sumur ini kami juga menemukan sebuah bata yang melengkung di dekat kandang sapi milik warga. Selain itu banyak bata-bata kuno yang ada di pekarangan warga, baik bata yang masih utuh maupun yang sudah pecah.


Di dekat tempat tersebut juga ada sebuah makam yang dikeramatkan oleh warga setempat, yaitu makam Mbah Renggo yang terdiri dari bata-bata kuno. Menurut seorang Arkeologi Numismatik Indonesia, Bapak Sofyan Sunaryo yang juga pernah sidak ke dukuh, bata-bata kuno tersebut
berasal dari abad ke-sepuluh Masehi. Terlihat pada foto, di posisi itulah seorang warga menemukan struktur bata kuno yang bertumpuk tiga ketika menggali tanah untuk menanam tanaman. Warga ini juga menemukan hal yang sama saat menggali beberapa titik lainnya, namun karena takut warga ini pun tidak berani meneruskannya. Untuk titik koordinatnya adalah -7 24’57,59”S 112 29’7,58”T.
 


Setelah cukup puas menelusuri area sekitar sumur kuno yang kedua ini, kami pun segera menuju sumur kuno yang ketiga. Letaknya berada di ujung pemukiman dukuh ini, di sebelah selatan rumah warga yang dipenuhi pohon pisang.


Kami segera menuju sumur kuno yang ketiga itu dan segera melihat kondisinya dari dekat.
Dari atas sumur terlihat banyak sekali tumpukan bata-bata yang telah pecah mengelilingi
sumur itu.

Kemudian kami melihat kondisi pada bagian dalam sumur. Tampak bagian tengah dalam sumur tersusun dari bata-bata yang melengkung namun kami tidak dapat melihat dasarnya karena sumur ini masih ada airnya, namun bagian bawah bata-bata yang melengkung tadi
susunannya terlihat berbeda dari kedua sumur sebelumnya, yaitu batabata kuno besar era
Mojopahit yang berukuran 32,5 cm x 22,5 cm ditata berdiri melingkar.

Kami tidak mengerti apakah susunan tersebut masih asli atau sudah disusun ulang. Dan berikut letak titik koordinatnya -7 24.’56,34”S 112 29’9,40”T. Dari ketiga sumur di atas ternyata kami juga mendapat informasi adanya sumur kuno lain. Sumur keempat ini terletak di belakang rumah bapak Kasun Pulolancing, yang bernama Eko Wiyono. Tidak seperti ketiga sumur sebelumnya, sumur keempat ini tidak terdapat airnya lagi, dan sudah dikelilingi oleh semak-semak yang cukup rimbun.



Demikianlah penelusuran kami tentang keberadaan sumur-sumur kuno di Dukuh. Dukuh termasuk dalam Dusun Pulolancing Desa Kedung Sukodani Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo. 
Untuk membuktikan dugaan kami tentang adanya peradaban di Dukuh ini, kami melalukan observasi di sebuah tanah milik seorang warga yang bersedia tanahnya kami gali untuk membuktikan adanya sebuah bangunan atau setidaknya berupa struktur bata-bata kuno yang
terpendam.

Pada hari Jumat 20 November 2015, kami menuju lokasi yang hendak kami observasi yaitu berada di belakang rumah bapak Tri Cahyono. Sebuah tanah yang ditanami dengan tanaman Srikaya (jawa: Menunggo).

Setelah meminta izin dan meminjam sebuah alat
berupa linggis pada bapak Tri Cahyono, kami segera
melakukan penggalian tanah yang telah ditunjuk bapak Tri
Cahyono. Tanah yang gembur memudahkan kami untuk
menggalinya.


Kami memulai observasi dengan menggali tanah milik
bapak Tri Cahyono yang juga turut
kami pada hari pertama itu.Di kedalaman 10 cm tanah terlihat gembur dan sedikit berpasir sehingga kami cukup mudah menggerakkan linggis. Memasuki kedalaman sekitar 15 cm mulai terdapat pecahan-pecahan batu bata. Pada kedalaman sekitar 20 cm kami mulai menemukan pecahan
bata yang kelihatan bertumpuk. Lubang observasi kami perluas sehingga semakin banyak bata-bata kuno yang terlihat, namun kondisinya sudah pecah dan strukturnya kurang teratur. Karena cuaca terlalu panas kami segera mengakhiri penggalian pada hari itu.

Hari Sabtu kami meneruskan penggalian dengan mulai membawa peralatan sendiri, seperti cetok, kuas, dan cangkul. Perlahan-lahan kami memperluas area observasi menjadi seluas 1 meter persegi. Pecahan bata kuno yang tidak beraturan atau berserakan semakin banyak kami
temukan.

Hari Minggu 22 November 2015, kami kembali meneruskan penggalian dengan melebarkan dan
memperdalam lubang penggalian. Pada kali ini kami memutuskan untuk mengambil bata-bata kecil yang berserakan pada bagian atas, karena menurut kami itu bukanlah bagian dari bangunan. Namun kami masih bingung, bangunan apa yang sebenarnya?
Kedalaman penggalian mencapai 35 cm, menurut kami bata-bata ini persebarannya luas sekali karena selalu ada setiap kali kami memperluas lubang observasi. Karena waktu kami hanya sedikit, akhirnya kami putuskan untuk mengakhiri proses penggalian pada hari itu.

Hari Selasa 24 November 2015, kami melanjutkan kembali proses penggalian. Kami perluas lubang penggalian sampai kira-kira 130 cm persegi. Kali ini kami mulai menduga dua hal, yang pertama adalah mungkin pada zaman Belanda pernah ada yang menemukan batabata kuno di Dukuh ini, lalu menggunakannya kembali dengan menatanya seperti pelataran bata atau lantai bata. Yang kedua adalah mungkin saja yang kami temukan dalam penggalian ini memang asli pelataran zaman kuno, sehingga kami memutuskan untuk menghentikan observasi ini dan mengharapkan bapak Tri Cahyono melaporkan temuan ini ke pihak Desa setempat dalam hal
ini adalah Desa Kedung Sukodani. Tentunya berharap pihak desa bisa memperhatikan ini dan meneruskannya untuk melaporkan kepada pihak BPCB Jawa Timur yang berpusat di Trowulan – Mojokerto, agar temuan ini segera ditindak lanjuti.

Pada hari Senin 30 November 2015, kami melaporkan temuan dan hasil observasi Dukuh kepada Pemerintah Desa Kedung Sukodani. Kami ditemui Kasun Puloncing yaitu Bapak Eko Wiyono di Balai Desa Kedung Sukodani mengharapkan agar pihak Desa segera melihat kondisi langsung di lapangan dan segera berkoordinasi dengan pemilik tanah untuk meneruskannya kepada pihak BPCB Jawa Timur di Trowulan. Kami memang sangat mengharapkan seluruh warga turut serta dalam melestarikan peninggalan peradaban yang ada di Dukuh ini maupun di Desa Kedung
Sukodani pada umumnya. Dari temuan pecahan tembikar maupun gerabah, kami mendapatkan berbagai jenis, salah satunya adalah pecahan Terakkota bagian atas Sumur Jobong khas Mojopahit yang banyak ditemukan di daerah Trowulan. Juga pecahan keramik Cina (ada yang
menyebutkan dari Dinasti Ming dan Song), dan masih banyak lainnya yang belum dapat kami
identifikasi. Semoga hal ini dapat menggugah perhatian warga setempat untuk bersama-sama
Garda Wilwatikta untuk melestarikan peninggalan peradaban di Dukuh ini maupun Desa Kedung Sukodani pada umumnya. Untuk menindaklanjuti temuan dugaan situs, kami membuat surat laporan yang akan ditujukan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Trowulan Surat tersebut telah dibaca dan diterima oleh Bapak Nugroho Lukito, salah seorang staff BPCB Trowulan. Semoga akan ada tindak lanjut dari instansi pemerintah tersebut.

Setelah observasi Dukuh kami anggap cukup, akhirnya kami memutuskan untuk menimbun kembali lokasi penggalian dengan memberi sebuah tanda dengan menumpuk bata-bata kuno diatasnya dan juga menempelkan kegiatan observasi di dekat lokasi penggalian. Atas pendekatan yang kami lakukan maka akhirnya Bapak Eko Wiyono Kasun Pulolancing mempersilahkan kami memakai salah satu ruangan yang ada di Balai Dukuh Pulolancing untuk dipergunakan sebagai
menyimpan temuan-temuan kami dari proses observasi Dukuh atau kami sebut dengan Museum Mini Dukuh .

Hari Sabtu tanggal 23 Januari 2016, Museum Mini Dukuh yang memamerkan hasil Observasi
Dukuh untuk pertama kalinya dikunjungi tiga orang Pecinta Sejarah dan Budaya Nusantara dari Surabaya dan Sidoarjo. Dengan adanya kunjungan semacam ini, kami mengharapkan ada tindak lanjut dari pihak-pihak yang terkait dalam pelestarian situs-situs seperti di Dukuh maupun di tempat lain. Kami juga menginginkan masyarakat Desa Kedung Sukodani bisa melihat temuan-temuan yang ada di desanya sendiri sehingga akan muncul sebuah kesadaran untuk ikut melestarikan peninggalan yang ada di desanya.

Selain itu kami juga membuat sebuah website / blog (www.gardawilwatikta.blogspot.co.id) yang dibuat oleh rekan kami Abdul Aziz mahasiswa dari Universitas Islam Majapahit. Blog tersebut akan digunakan untuk mencatat tentang semua temuan-temuan dan kegiatan-kegiatan dari
Garda Wilwatikta Tado Singkalan. Dan kami juga telah menyampaikan temuan di Dukuh ini pada sesi tanya jawab di Forum Seminar ITS Surabaya pada 8 Januari 2016 silam, agar pihak akademisi terutama ITS juga turut merisetnya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar